SELEMBAR KERTAS USANG - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

SELEMBAR KERTAS USANG

source google
     

    Hanya sekejap. Sekelebat rasa membuatku bimbang akan diriku sendiri. Terkadang Aku merasa ragu, inikah jalan yang kupilih? Tapi semua keyakinan itu tumbuh dengan sendirinya. Melenceng jauh dari apa yang mereka katakan baik, tapi untuk sesaat, terlihat begitu menyilaukan.

           Ini bukan kisah berisi roman picisan, atau drama fiksi yang mampu membuatmu tenggelam dalam dunia imajinasi. Ini hanyalah penggalan kisah, tentang kesalahan, dan selembar kertas usang.

          Gemerisik terdengar lirih bersama dengan bisikan-bisikan pelan di setiap sudut ruang. Terus berlanjut, bahkan lebih dan lebih dari sebelumnya. Aku menggeram, merasa terganggu oleh derit kursi di meja belakang, juga desah kecewa karena tak mendapat jawaban.

          Aku membalik lembar jawab di meja, lalu merebahkan punggungku pada sandaran kursi. Mendengus kesal ketika teman di meja belakang mengetukkan pensilnya di bahuku, dan kembali menanyakan jawaban untuk soal yang sama.

          “Belum, Mir!” bisikku dengan sedikit penekanan. Dan desah kecewa kembali terdengar untuk kesekian kalinya.

          Detik waktu bagai degup jantung yang berpacu. Terus berjalan seiring masa, yang berlalu dengan sia-sia. Lembar buram penuh coretan tanpa jawaban, membawa persoalan pada jalan buntu. Yang tersisa hanyalah deret angka logika, logaritma, bahkan aritmatika yang rumusnya bercecar di luar kepala, terlupa, dan hilang entah kemana.
Jemariku bergerak menarik surai hitamku, frustasi. Berharap setiap tarikan dapat membawa rumus-rumus yang terlupakan itu kembali. Tapi nihil, kepalaku kosong melompong tanpa isi.

          Semua murid terdiam seketika mendapati kembalinya wanita pengawas ruang sekaligus guru killer yang beberapa saat lalu keluar ruangan. Seperti biasa. Bahu tegap, dagu terangkat, menatap jeli pada setiap sisi tanpa satupun terlewat. Memicing tajam dan menatap garang, menciutkan nyali semua orang. Terus berkeliling dari meja ke meja dengan sesekali membenarkan frame kacamatanya.

          “Kerjakan sendiri!” suaranya terdengar kembali. Memantul, menggema di gendang telinga, tatkala siswi di pojok belakang berusaha memberi kode pada teman di depannya.

          Dering ponsel bervolume sedang bergetar menarik perhatian. Langkah pengawas itu terhenti beberapa saat bersamaan dengan tangan yang bergerak merogoh benda yang menjadi sumber bunyi dari dalam saku. Keningnya mengkerut menatap layar ponsel sebelum kemudian mengangkat panggilan yang tampak penting dari caranya menjawab. Tak lama berselang, beliau melangkah keluar ruang, untuk yang kedua kalinya.

          Ketegangan seketika menjelma menjadi desah lega para siswa. Beberapa bahkan mengucap syukur olehnya. Sedang yang lain bergegas memanfaatkan kesempatan. Sodok kanan kiri, toleh sana sini, membuat bisikan-bisikan kembali mendominasi.

          “Pssstt…” bisik Mirna dari meja belakang, membuatku menoleh penasaran. “Yang tadi sudah belum?”

          “Belum, Mir. Rumusnya lupa!” balasku frustasi. Bukannya membalas, Mirna justru mengulurkan tangannya, memberikan lipatan kertas kecil padaku.

          “Itu dari Ana, Fit. Rumus essay nomor tiga sama jawaban nomor lima disitu. Ambil aja, aku udah nyalin.” Cicitnya tanpa ragu.

          Mataku bergulir, menunduk, memfokuskan diri pada lipatan kertas yang masih pada posisi semula. Ada rasa ragu yang tersirat disaat yang sama. Haruskah aku membukanya? Tapi semua itu sirna ketika kusadari akhir test sudah di depan mata.

          Hanya limabelas menit tersisa. Solusi dari soal-soal yang belum kukerjakan juga sudah terbuka. Sungguh, aku hanya tinggal menyalinnya. Tapi entah kenapa, tanganku bergetar. Nafasku menderu, berpacu. Kendati demikian, kupaksakan tanganku untuk menuliskan jawaban, menyalin setiap huruf dan bilangan. Menghabiskan sisa waktu untuk segelintir kecurangan.

          Bel berdentang satu kali, tanda waktu tinggal sepuluh menit. Pengawas yang beberapa saat lalu melenggang keluar ruangan kini telah kembali menempati kursi. Memperingatkan siswa maupun siswi untuk memeriksa jawabannya lagi. Hingga bel berbunyi tiga kali. Waktu habis.

          Siswa-siswi serentak berdiri dengan tangan yang kukuh memegang lembaran hasil jerih payah mereka. Termasuk aku. Tanpa malu, tanpa ragu. Meskipun deret tulisan yang tertera di lembar jawab itu bukan sepenuhnya hasil keringatku.

          Kutatap kembali hasil kerjaku yang telah bergumul bersama lembaran kertas lain di meja guru. Aku merunduk. Sesal kembali membayang dalam benakku. Adakah nilaiku nanti menjadi gambaran hasil belajarku selama ini? Tidak, kurasa. Karena yang bakal tertera di sana tak lain hanya coretan angka dalam selembar kertas usang. (Penulis isa rima) 

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done