IMLEK DI KOTA SOLO - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

IMLEK DI KOTA SOLO



Warga solo memadati jam pasar gedhe guna menikmati festival lampion

           Ribuan lentera alias lampion terpasang di sekitar Pasar Gedhe Solo setiap menjelang Imlek. Momen ini biasa digunakan oleh masyarakat untuk berfoto di malam hari karena lampion terlihat sangat indah dengan sinar lampunya.


            Sejak tahun 2003, Tahun baru cina atau biasa di kenal dengan Imlek telah dinyatakan sebagai hari libur nasional dan dapat dirayakan di seluruh Indonesia, tak terkecuali Solo. Setiap tahun komunitas keturunan Cina-Jawa yang beraneka ragam di kota Solo merayakan Tahun Baru Imlek atau di tempat ini dikenal dengan perayaan Grebeg Sudiro. Daerah Pasar Gedhe akan menyala dengan ratusan lentera, tarian singa dan naga akan berjejer diiringi jalan-jalan disertai benturan simbal, orang-orang dengan kostum tradisional China dan Jawa yang berwarna-warni diarak, sementara tarian kerajaan kontemporer dari keraton atau istana Sultan Solo dan rumah kerajaan Mangkunegaran akan tampil di sepanjang Jalan Sudiroprajan. Pawai selesai di Klenteng Tien Kok Sie di depan Pasar Gedhe atau Pasar Agung.

Selain itu, sebuah gunung besar yang disebut gunungan akan dibawa berkeliling, disusun dari ribuan kue Tahun Baru Imlek, atau disebut kue ranjang. Gunungan akan dikibarkan dan dibawa oleh orang-orang di sekitar jalan Sudiroprajan, diikuti oleh pertunjukan pertunjukan China dan Jawa. Sorotan dari parade ini adalah penerangan lentera besar di gerbang utama Pasar Gedhe dalam bentuk teko, segera diiringi serentetan ribuan lentera di Pecinan Solo.

Perayaan Grebeg Sudiro di Tahun Baru Imlek adalah bukti bahwa bangsa Indonesia dari semua ras dan kelompok etnis, khususnya di Jawa Tengah hidup dalam harmoni terlepas dari ras atau agama yang didasarkan pada tradisi saling menghormati selama berabad-abad. Dan bahkan saat mempersiapkan acara ini, baik orang Cina dan Jawa bekerja sama untuk mengantisipasi ritual syukur kepada Tuhan dan alam.

Berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi dan tahun Jawa, Imlek punya sejarah tersendiri, sejarah yang panjang dan penuh kontroversi. Perayaan Imlek dari sisi budaya telah menjadi bagian ekspresi kultural yang meng-global karena dirayakan di seluruh bagian dunia dimana banyak tinggal komunitas Tionghoa. Tapi di Indonesia, Imlek bukan sekedar identitas budaya tapi juga sarat dengan muatan politis. Bau kepentingan politik ini bisa ditelusuri dari sejarah Imlek di Indonesia, utamanya di jaman Presiden Soeharto atau era Orde Baru.

Selama Orde Baru, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Presiden Soeharto melalui  Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, melarang atau membatasi segala hal yang berbau Tionghoa. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh Upacara Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan mengeliminasi secara sistematis dan bertahap atas identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap Kebudayaan Tionghoa termasuk Kepercayaan, Agama dan Adat Istiadatnya. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh Perayaan Tradisi dan Keagamaan Etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Demikian juga tarian Barongsai dan Liong dilarang dipertunjukkan.

Larangan Imlek ini dihapus oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003 (wikipedia.org)

Mengapa Orde Baru sebegitu takutnya dengan segala sesuatu yang berbau Cina? Ini alasannya : “….pemerintahan Soeharto dengan dengan tegas menganggap keturunan Cina dan kebiasaan serta kebudayaan Cina, termasuk agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa sebagai “masalah” yang merongrong negara dan harus diselesaikan secara tuntas”. Alasan ini tertulis dalam buku “Pedoman Penyelesaian Masalah Cina” jilid 1 sampai 3 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang berada di bawah BAKIN (Wikipedia)

 Saat ini, perayaan Imlek kembali diterima sebagai bagian dari kekayaan pluralitas budaya Indonesia. Masyarakat Solo kembali bisa menyaksikan tarian Barongsai bebas ditarikan di seputar Pasar Gede. Orang dari berbagai latar belakang etnis, budaya dan agama tumpah ruah jadi satu ikut larut dalam selebrasi tanpa tahu atau bahkan tidak perduli alias tidak mau tahu apa nilai dan keyakinan dibalik Imlek, yang ada dibenak mereka hanya ikut bergembira dalam pesta budaya sekaligus sarana refreshing lepas dari rutinitas dan beban hidup sehari-hari.

Keterbukaan menerima realitas budaya yang plural adalah ciri dari Budaya Wong Solo. Imlek semestinya bukan untuk memperkuat ikatan Tionghoa pada  identitas budaya Cina, tapi justru menguatkan eksistensi mereka sebagai etnis Cina yang “Indonesia dan Jawa”. Ikatan sosial mereka tidak hanya ke kultur Cina, tapi juga nilai-nilai Budaya Jawa dan pluralitas Indonesia. Komunitas Cina di Solo juga wajib berkontribusi pada pelestarian budaya Jawa dan pembangunan dan kesejahteraan Kota Solo.

Proses akulturasi dan asimilasi budaya terjadi secara alami di tengah masyarakat Solo. Asam garam hubungan antara warga pribumi Jawa danetnis Tionghoa telah menjadi pengalaman dan bekal bersama untuk memulai kehidupan harmonis yang membaur.

Sebagai kota pusat kebudayaan Jawa, Solo menghayati roh kejawaannya. Seluruh warganya telah sama-sama menyadari bahwa kebinekaan adalah sebuah keniscayaan yang harus dijalani bersama. Kamot ing sakaliring reh(mampu menampung semua ragam perbedaan) adalah inti dari harmonisasi masyarakat Jawa. Kini semua telah melebur menjadi warga bangsa, meskipun tetap tampil dengan identitas pribadi yang saling menghormati.

Semua merayakan. Kekayaan nilai-nilai budaya dan tradisi adalah potret nyata wajah kebinekaan kita. Mari datang ke Solo. Nikmati keberagaman sambil belajar menyelami hikmah tenggang rasa dan toleransi. (Penulis Sukma Evi)

https://www.pedomanwisata.com/event/festival/festival-grebeg-sudiro-2018-perayaan-tahun-baru-imlek-yang-unik-dan-menyatu-di-kota-solo


Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done