Sudah senja lagi. Tangannya sudah sejak tadi berada diatas keyboard laptop, tapi otaknya tak kunjung encer. Dua orang didepannya, ditambah aku, makhluk gaib yang bertugas mengetikkan ceritanya kalau dia lagi malas.
oOo
Kamu tahu? Sekarang sudah ganti hari. Dan, hanya tersisa aku –si makhluk gaib– dan seorang temannya. Semalam, sehabis pulang dari sekretariat organisasi yang diikutinya, dia dan temannya hanya sibuk mengutak-atik blog yang tengah dirancang. Tidak ada kegiatan lain, selain sesekali membicarakan masa lalunya. Semakin malam, rasanya dia semakin abai pada kerinduan gelap untuk tidur bersamanya.
Dini hari, kemudian lapar, dan akhirnya harus merepotkan abang-abang pengantar makanan yang seharusnya sedang beristirahat sekarang. Sampai shubuh, kantuk baru menghampirinya, setelah menikmati sisa sepertiga malam dengan mati lampu dan stalking seseorang. Seorang “manusia setengah-setengah” yang mungkin memiliki kegilaan sama dengan dia. Dia akhirnya bisa tidur.
Sisa paginya, hanya terhabiskan dikasur kamar kos temannya ini. Bayangkan saja, aku masih harus terkejut melihat bentuknya ketika bangun tidur. Ini salah satu hal yang paling aku tak suka darinya. Apa mungkin semua orang yang bangun tidur harus seberantakan ini? Paling tidak, sejenak akuilah dirimu ini sebagai perempuan.
“Pehatikan aku. Aku sedang berbicara denganmu.”
“Hm, baiklah.”
Kalau kamu tahu lagi, sekarang dia masih bingung mau menulis apa. Yang jelas keinginannya menulis terus saja dia utarakan dari kemarin. Aku ini hanya petugas menulis. Mana aku tahu dia mau membagikan cerita apa.
“Hei, siapkan tanganmu. Mungkin aku akan dapat ide sebentar lagi. Tunggu saja, aku akan memberitahumu kalau kalimatku sudah tersusun. Yang penting siagakan tanganmu diatas keyboard ini.”
“Iya, bos.”
oOo
Sekarang sudah pukul 19.03 WIB.
Dia yang katanya, “sebentar lagi” butuh waktu dan harus tidur dahulu untuk mendapatkan ide cerita. Dia benar-benar sedang butuh inspirasi sepertinya. Aku lelah harus menunggunya mendapatkan inspirasi. Karena bukan hanya cerita di lembar kerja ini saja, disebelah ada hutang ceritanya kemarin.
“Ayolah, utarakan apa yang ingin kamu bagikan, agar pekerjaanku ini segera selesai.”
“Sebentar! Aku ada panggilan!”
oOo
Sekarang aku memutuskan untuk mengetik sendiri. Tiba-tiba aku bergairah meskipun perutku agak lapar. Tapi, aku sedang tidak ingin peduli pada perut seperti semalam. Aku ingin segera meluapkan inspirasiku, daripada nanti lupa.
“Sekarang, kau istirahat saja dulu ya.”
Baiklah, aku mau cerita. Karena beberapa hari ini aku kurang mendapatkan ketenangan, jadi tolong maklum ya, kalau misalkan tulisanku nanti acak-acakan.
Aku sedang ingin menceritakan masa SD ku. Masa dimana aku pernah merasa “paling dibutuhkan” sekaligus “paling dibuang”. Pernah dengar istilah bullying? Pasti kata itu sudah bukan hal asing lagi. Dan, di zaman ini, bullying sudah menjamur dimana-mana. Tidak! Kamu salah jika berpikir masa SD ku terhabiskan dengan bullying. Aku baik-baik saja ketika masih SD. Hanya mungkin sedikit tekanan batin yang tidak berlangsung lama.
Dimasa SD, aku masih amat bersyukur, sebab masih ada manusia yang mau menjadi peneman untukku. Seandainya sudah tidak ada, mungkin aku akan berteman dengan batu cadas, belalang, capung, dan bunga melati di pelataran rumahku. Sejak masuk SD, aku mulai melihat banyak lalu lalang manusia yang sebenarnya membuat mataku sakit. Disinilah aku mulai berpikir,
“sendiri itu lebih menyenangkan”.
Entah ilham darimana, pemikiran seorang bocah 6 tahun tentang kesendirian. Namun, itulah faktanya. Pemikiran yang terlalu curam dengan kenyataan yang coba aku jalani. Di zaman itu, perbedaan kasta masih amat kental terasa. Kamu tidak perlu bertanya lagi apa maksudku.
Keberadaanku yang terbilang baru, sebab masa kecilku terhabiskan di Ibu Kota, membuat aku sulit berbaur. Dan ketika masaku tiba, mendapatkan dua kawan seusia, namun tersingkirkan oleh bumbu-bumbu ketidak sukaan.
Kamu tahu? Harta dan tahta masih belum ada dalam genggaman gadis 6 tahun kala itu. Bahkan perbedaan itu yang membuat aku menyadarinya justru beberapa tahun ini. Jauh setelah masa SD ku berakhir.
“Aku nanti pokoknya duduk deket dia aja.”
“Aku kanannya.”
“Ya udah, aku di kirinya.”
Kalimat-kalimat itu terlontar seraya raga mereka menjauhi ku dan seakan tidak menyadari keberadaanku yang sedari tadi bersama mereka. Ah, ya, yang dimaksud “dia” itu bukan aku, ya, Teman.
“Dia” itu adalah putri seorang yang bisa dibilang konglomerat di zaman itu. Aku bisa apa disini? Bocah 6 tahun itu hanya menghela nafas dan merasa iri.
Di lain waktu.
“Nanti kalau pulang, tungguin dia. Awas kalau ditinggal!”
Karena kalimat itu ditujukan pada gadis 6 tahun, apa yang bisa dilakukannya selain menurut? Oh, ya, ngomong-ngomong “dia” itu masih orang yang sama dengan yang kusebut diatas. Dan yang memberiku mandat tadi itu, bukan kakaknya, bukan sepupunya, bukan ibunya, bukan apa-apanya. Hanya segerombol kakak kelas yang lebih memilih nempel dengan “dia” dibanding aku. Sesuai gosip yang kudengar, sebab ayah “dia” ketika pulang kampung akan buka stand “Bagi-Bagi Uang” untuk anak-anak seusia ku, kala itu.
Aku tidak menyebut ini bullying. Sebab dalam pemikiranku, mereka hanya ingin temanku –dia– ini nyaman dengan lingkungannya. Meskipun aku tidak merasa nyaman sama sekali.
Ah, ya. Ada kelanjutan dari kalimat diatas. Setelah pulang sekolah, aku sudah lama menunggunya diluar kelas. Entah apa yang dilakukannya didalam, yang jelas rasa laparku mengalahkan segalanya. Kutinggalkan dia yang entah akhirnya pulang dengan siapa. Sepanjang jalan, yang kupikirkan adalah,
“Aku tidak peduli. Kan, masih ada mereka yang tadi pagi mengancamku. Mereka kan masih pelajaran. Kalau dia tidak berani pulang sendiri, kan masih ada mereka tadi.”
Dan, akhirnya aku sampai rumah dengan perasaan paling “biasa saja” seraya mengambil nasi dan meminta ibuku untuk mengambilkan dua iris tempe goreng dengan sayur bayam. Menu favorit paling istimewa di dunia, bagiku.
Dan, hariku masih berjalan biasa saja saat itu. Sampai esok hari, di jam yang sama kutunggu dia dan ternyata segerombol kakak kelas itu juga sudah pulang. Dia yang memang sedari tadi sudah kuajak untuk pulang bersama dan menyetujuinya, tiba-tiba saja langsung digandeng oleh mereka. Aku tetap menatap tidak peduli sebab hal ini sudah pernah ku alami, dan acuh menjadi keputusanku untuk pulang mendahului mereka.
Ternyata melelahkan mengetik sebanyak ini.
“Apa kau juga merasa lelah?”
“Hei, makhluk gaib, aku bicara padamu!”
“Oh, lelah? Yang jelas tidak lebih melelahkan dibanding masih merindui seseorang yang sudah tak tahu dimana rimbanya.”
Shit!
Sia-sia rupanya mencoba perhatian padamu. Lebih baik aku melanjutkan ceritaku saja. Sampai mana tadi? Ah, ya.
Rupanya ketenangan tak selalu berpihak padaku. Setelah memutuskan untuk pulang mendahului mereka, desas-desus pelan mereka benar-benar memekakkan telingaku bagai mendengar suara sound system di pernikahan tetanggaku.
“Udah disuruh nungguin malah ditinggal.”
“Dasar, nggak tahu diri.”
“Ya udah dek, nggak usah jadi temen dia.”
Aku semakin mempercepat langkah pendekku kala itu. Aku tidak menangis, dan tidak ada keinginan menangis kala itu. Sama sekali. Egoku lah yang membentengiku. Aku memilih semakin acuh dan pergi. Hm, yang dipanggil “dek” itu tadi juga masih “dia”. Sampai dirumah, amarah dan lelah yang semakin membuatku kelaparan. Gadis 6 tahun itu melahap sayur sop dan segelas air putih sampai benar-benar bersih tak tersisa. Aku masih dengan sadarku saat itu, mulai menumbuhkan “kebencian” pada ramai, kalimat “teman”, dan kebersamaan. Bagiku semua itu tabu.
Setidaknya, kala makan siang dengan sayur sop tadi, aku masih menatap bulir-bulir minyak yang tetap tidak menyatu dengan air, meskipun mereka sudah dimasak bersama. Disitu aku masih mengingat rasa syukurku sebab Tuhan masih mengizinkan aku merasakan nikmatnya butiran nasi, sayur sop, air putih, dan juga deretan kalimat kebencian.
Aku menghabiskan sisa hari “pahitku” dengan bermain entah dengan apapun yang bisa kumainkan. Adik kecilku masih terlalu kecil saat itu untuk kuajak berlarian mengitari rumah sampai senja. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti rasa amarah kakaknya. Dia masih terlalu kecil untuk menjadi pesuruhku saat aku sedang kesal begini. Dan dia juga masih terlampau kecil untuk mengerti aku ini kakaknya.
Aku tadi mengatakan tentang bullying, ya? Aku tidak tahu apa cerita diatas termasuk bullying. Namun, yang jelas kebencianku tentang “membeda-bedakan” perbedaan, tetap menghuni tubuhku hingga saat ini. Tapi tenang saja, aku dan “dia” sekarang berteman baik. Dan segerombol kakak kelas yang dulu amat sangat membela “dia” itu sekarang sudah menggendong anak, sebagian. Sebagian yang lain sudah bekerja. Sebagian yang lain aku tidak tahu dan tidak mau tahu.
Sebab, aku amat mensyukuri hidupku yang sekarang. Yang semoga dikelilingi oleh orang-orang yang dengan ikhlas menjadi temanku. Yang dengan senang hati mengingatkanku pada kesalahanku. Yang bersedia kubantu saat mereka butuh. Dan yang bersedia untuk aku bahagiakan. Definisiku tentang teman dan sahabat memang berubah sejak beberapa waktu terakhir.
“Dari kebahagiaan mereka lah, aku merasakan bahagia.”
Entah apa anggapannya. Teman kah? Atau sahabat kah. Bagiku sama saja. Yang jelas, mereka mau menjadi pengingatku disaat aku salah dan keliru. Yang menuntunku menuju arah yang lebih baik. Dan yang mau tetap percaya padaku saat mereka kehilangan kepercayaan orang lain.
Bantu aku untuk mengikis sedikit demi sedikit sikap abai ku pada hal-hal yang seharusnya aku perhatikan. (Penulis Rika)