Junot dan Luna - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Junot dan Luna

source google


Junot duduk diam saja di gazebo sementara Luna musti berbasah-basah membawakannya mantol dari rumah. Tak kurang dari 12 km jauhnya jarak yang musti ditempuh oleh Luna untuk orang yang dikasihinya itu. Junot si pria malas, tak jelas apa kerjanya, dari dulu hanya ketik-ketik saja. Tiga jam sudah hujan jatuh dan tak ada tanda-tanda akan usai. Kali ini tiga puisi sudah Junot hasilkan. Tak ada penulis puisi seproduktif Junot yang sekali duduk menunggu hujan saja melahirkan tiga puisi. Konon, dulu-dulu, Sapardi, sastrawan yang dikenal melalui puisi ‘Aku Ingin’ membutuhkan proses panjang nan berliku untuk menyusun diksinya. Tak tanggung-tanggung, bertahun-tahun. Ini si Junot anak kemarin sore, main-main, tiga puisi sekali duduk. Barang tentu tak ada nilainya puisinya itu.

“Banyak omong kau, heh.” sergah Junot mendamaikan bisikan di otaknya, “aku ini penulis produktif.”

Maka berdirilah di sana Luna, setelah setengah jam Junot menunggu, rupanya ia mengenakan mantol pink kesukaannya. Lihat saja antusias itu, tak pernah pergi. Sering Junot bertanya-tanya, apa yang Luna lihat darinya; tak ada istimewa-istimewanya dia ini. Tipikal orang kebanyakan saja. Tapi, Luna, perempuan manis yang malu bila diingatkan kalau dia dulunya menyukai musik ST12 itu, berbinar-binar matanya. Lalu cinta itu, tumbuh tak berbelit-belit, tak banyak drama macam di televisi-televisi. Beruntung pula, Luna tak pernah terdengar suaranya menggilai drama korea.

Bukan gentlemen bila Junot lantas memutuskan pulang setelah mantol di tangan. Betapa pun hujan membuatnya dirayapi kebosanan menunggu tiga jam, lebih sekarang, ia wajib mempersilakan Luna duduk dulu . Istirahat. Lagi-lagi, lihat mata berbinar itu, saat ini ditambah senyum yang mengembang. Junot kebingungan memulai perbincangan, meski dengan kekasihnya yang tahun ini menginjak usia tiga tahun bersama. Jika perbincangan dibuka dengan perkembangan skripsi Luna, barang tentu ia bersungut-sungut. Sudah makan atau belum? Iya kalau Luna menjawab sudah makan di rumah tadi, kalau belum? Disakunya hanya cukup membeli seporsi batagor saja.

“Mmmm. Kamu mau baca puisiku? Aku tadi duduk iseng bikin puisi, tiga.” Junot mengangsurkan laptopnya ke Luna, “harus cepat bacanya, soal baterainya tinggal 10%.” Susah payah Junot memilih diksi, sekarang dibaca sambil lalu saja. Puisi amatiran.



Kalau ada hari yang mungkin sedikit istimewa dari hari biasanya, itu adalah saat Luna tuntas ditugaskan sebagai mahasiswa KKN. Seru sekali ceritanya. Barangkali, itu karena sifat Luna yang periang dan mudah bergaul. Samir misal, teman Junot yang lain menganggap KKN adalah fase terburuk dalam hidupnya. Lihat pemuda keturunan arab itu menceritakan kisahnya soal KKN di desa terpencil, “Dengar. Aku kerap kali mandi di sungai karena bila ikut mengantre kamar mandi, bisa lama sekali. Perempuan, aku tak tahu apa yang dibuatnya di kamar mandi. Aku pikir dia mandi sambil tertidur. Lama sekali mereka itu.” Kami tersenyum, “Di sungai, air dingin sekali. Mandi di alam terbuka. Kalau ada teman iseng, bisa saja saat kau mandi, esoknya kau temui video mandimu itu di Youtube. Bukan itu bagian tersulitnya. Yang tersulit adalah menentukan apakah kau ini mandi paling dekat dengan hulu sungai atau tidak. Karena bila tidak, bisa saja kau temui ampas BAB yang mengalir menuju hilir, dan menyisakan rasa percuma pada tubuh yang kau sabuni itu.”

Saat Junot mengisahkannya ke Luna, gadis itu tertawa saja. Karena Luna, adalah si perempuan yang betah berlama-lama di kamar mandi itu. “Hahaha. Aku baru tahu kalau Samir mandi di sungai. Yang aku tahu dia mandi di rumah Kepala Desa.” jawab Luna geli.

“Kapan-kapan, ajak aku ketempat KKN-mu itu. Tak terlalu jauh dari sini, kan?”

“Dari sini, hanya jalan lima jam naik motor ke lereng gunung. Tapi, katamu, kamu sering merasa pusing di area tinggi.”

“Tidak bersamamu.”

Luna senyam-senyum saja. Sedikit lebar kali ini. Ah sial, ada sesuatu di sela-sela gigi manis kasihnya itu. Junot baru menyadarinya. Sudah, biarkan saja, pikir Junot. Biarkan cabai merah itu dengan urusannya sendiri di sela gigi Luna. Tak boleh pacarnya salah tingkah hanya karena urusan sepele di giginya itu.

“Lun. Kamu kalau sama aku bahagia, ya. Saranku, saat ke kebun binatang nanti, jangan banyak ketawa atau senyum lebar-lebar.” ucap Juno.

Luna senyum kembali, “Yang bikin aku ketawa, siapa?”, balasnya sambil mencubit manja perut Juno. “Lagian ketawa dilarang. Aneh.”

Luna, cabai di gigimu itu.



Seminggu sebelum semester genap dimulai Junot masih dengan kegiatannya, mengetik-ngetik sesuatu di laptop, dan mengirimkan hasilnya ke beberapa koran lokal dan media online. Hasilnya, nihil selalu. Luna di belakang, menyemangatinya dan hadir dalam artian sesungguhnya, ia meminta Junot mengirimkan tulisan-tulisannya ke emailnya, agar Luna bisa mengoreksi terlebih dulu. Saat itu, Luna juga sedang sibuk-sibuknya mencari referensi untuk mengerjakan skripsi.

Sembari membuka-buka buku, Luna bercerita yang ringan-ringan saja. Tentang dosen pembimbing skripsi yang dikatakannya kolot dan tidak mau menerima masukan. Padahal jelas tugasnya adalah membimbing, bukannya menunjukkan jalan. Tentang masa-masa KKN dan magangnya yang telah berlalu. Ia menceritakannya dengan penuh romansa sekali, seakan ingin mengulanginya kembali. Tentu lebih kepada, Luna yang gamang menerka hari-harinya saat studinya usai, menerima toga, menerima bunga dari Junot, mendapat gelar di belakang namanya dan menyenangkan orangtuanya, setelah itu lantas berhadapan dengan dunia nyata yang tak kenal belas kasihan. Saat ia bercerita tentang perjuangan guru-guru di pulau-pulau terpencil selama bertahun-tahun, dan masih bertahan dengan status honorer saja, ada raut wajah ketakutan di wajahnya. Bertahun-tahun hidup sebagai tenaga honorer dengan uang yang pas-pasan.

Junot ingat betul hari itu, awal-awal kenapa Luna memilih ‘PGSD’ - pendidikan guru sekolah dasar – sebagai studinya. Ia ingin jadi guru, berdekatan dengan anak-anak adalah hal yang membuat wajahnya berseri-seri. “Setelah lulus dari sini aku akan mengajari anak-anak supaya cerdas. Jadi guru yang seru juga cantik. Dua tahun, aku akan beli Alphard.”

“Berapa gaji guru memangnya setelah dua tahun mengajar mampu membeli Alphard?”
Luna terperanjat, “Ya, berandai-andai kan boleh.”

Masa-masa itu tiga tahun berlalu. Kali ini hanya tersisa gamang saja, akan masa depan itu. Mahasiswa, khususnya di masa-masa awal, adalah anak muda dengan semangat berlebih untuk meraih masa depan yang gilang gemilang itu. Menjadi terdidik. Realita adalah pukulan keras yang menampar tepat di wajah. Apalagi, membaca statistik pengangguran terdidik di negeri ini yang angkanya meninggi.

“Luna!” Junot memberhentikan Luna saat ia ingin masuk ke rumahnya sepulang dari perpustakaan.

“Ha?”

“Semangat! Lulus cumlaude, ya.”

[…]

oleh: Arie Susanto, https://ariesusduabelas.wordpress.com

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done