KATA MINGGU INI - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

KATA MINGGU INI



Mungkin ini akan sedikit berbau “romantis”, atau baiknya kusebut apa ya? Ya, anggap sajalah ini sekadar berbagi. Kalau memang nyatanya tidak ada sentuhan “romantis” ya maafkan dan ya sudahlah.
“Pakai jas hujan ya?”
“Nanti saja, ini masih belum begitu deras. Lagipula kalau kukenakan lalu kau bagaimana?”
Dan itu sudah permintaan ketiganya. Bukan, bukan sedang mencari perhatiannya atau bagaimana, aku memang sedang memikirkan bagaimana nasibnya jika jas hujannya kupakai.
“Pakai ya?” pintanya sekali lagi.
“Masih jauhkah untuk sampai?”
Sejenak berfikir, “Lumayan. Pakai ya?” Dan tanpa persetujuanku, dia menepi mengeluarkan jas hujannya. Jas hujan model celana yang hanya bisa dipakai oleh satu orang. Baiklah, demi tidak membuat pemberhentiannya sia-sia, aku terpaksa memakai atasan jas hujan itu dan berusaha menolak untuk tidak memakai bawahannya.
“Begitu dari tadi, kita tidak perlu berdebat.” Aku hanya menarik nafas dan “Hm, baiklah. Maafkan aku.”
Dan perjalanan memang ternyata masih cukup jauh, hingga aku benar-benar tidak betah melihatnya basah kuyup begitu. Sebenarnya sudah kuajak dia berteduh tapi dia benar-benar tidak mau. “Kalaupun sakit, besok aku juga libur kuliah. Tenang saja.” Enteng sekali jawabannya.
“Kuberitahu ya, masjid itu –dia menunjuk sebuah masjid yang terlihat cukup megah– didalamnya ada sebuah makam.” Baik, sepertinya ini akan menjadi percakapan yang menarik dibawah guyuran hujan yang sebenarnya tidak begitu deras. “Iyakah?” sebelum akhirnya dia memelankan laju motornya dan benar kulihat ada sebuah tempat yang sepertinya dikhususkan untuk sebuah benda sakral.
Hingga kemudian sepanjang sisa perjalanan, dia menceritakan tentang kisah “masjid bermakam” itu yang entah benar atau tidak, yang entah dia tahu darimana. Ya, aku memang suka sekali mendengar cerita, entah itu benar atau tidak, setidaknya aku berusaha untuk menjadi pendengar yang baik. Hingga akhirnya dia memilih jalan yang melewati sebuah tempat hiburan rakyat atau mungkin semacam pasar rakyat dan pasar malam dan mengatakan sesuatu tentang permainan-permainan yang menantang.
“Pernah kesini?”
“Belum, tapi dulu aku pernah naik itu –ku tunjuk kora-kora– dan aku harus tertawa karena banyak yang nekat naik padahal sebenarnya mereka takut.” Kudengar dia tertawa.
“Apa kau tidak takut?”
“Hanya sedikit, bagiku itu hanya sedikit saja level “menakutkannya”.” Dan dia kembali tertawa.
“Sebenarnya orang-orang juga begitu. Meskipun mereka takut, tapi mereka mau mencoba hal-hal menantang dan keluar dari zona nyamannya.” Baiklah, dia benar. Kali ini aku tidak menyangsikannya. “Mau mampir dulu?” tanyanya. Padahal dia tahu hujan semakin deras dan dia juga tahu dia sudah cukup basah kuyup. “Ah, tidak. Sudah sore, lagipula kau harus segera pulang dan mandi supaya tidak sakit.”
Dan kembali, di sisa perjalanan itu dia banyak memberiku motivasi untuk tetap tekun dan rajin menjalani kuliah yang memang sebenarnya sangat amat melelahkan. Aku senang mendengar setiap kalimatnya dan mengingatkanku pada ayahku.
Meskipun ayahku bukan berasal dari seorang yang “kaya ilmu dan pendidikan” tapi dia selalu “menuntut dan menuntunku” supaya aku menjadi seorang yang berilmu. Katanya, “Biarin aja bapak kayak gini asal mbak sama adik enggak. Mbak sama adik harus jadi orang sukses, jangan sampai kayak bapak.” Dan aku amat bersyukur barusaja mendapat wejangan seperti itu dari kakak tingkat ini. Bukan hanya dari dia, aku banyak mendapat “dorongan” yang secara tidak langsung seperti perwujudan dari do’a-do’a ayah dan ibuku yang sekarang berada jauh dariku.
Dan, hujan sore itu juga menjadi pengingatku bagaimana aku harus berterimakasih padanya yang sudah sukarela dan amat baik memberiku tumpangan pulang pergi. Mungkin lain kali aku bisa membalas kebaikannya.  Dan semoga Tuhan juga menyimpan kebaikannya.

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done