Surakarta – BEM KM UNISRI Kabinet Garis Juang Kementrian Pemberdayaan Perempuan Forum Perempuan menyelenggarakan diskusi publik dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada Jumat, 8 Desember 2023 di Ruang Sidang Lama Lt. 3. Jum'at (08/12/2023)
Pada diskusi publik ini, BEM KM menghadirkan 3 pemateri antara lain Tiasri Wiandani, Komisioner Komnas Perempuan, Yokhebed Arumdika Prabosambodo salah satu Dosen Fakultas Hukum Unisri, dan mahasiswi Fakultas Hukum yaitu Angel Esuko Putri. Dalam kesempatan ini, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerja Sama mengucapkan terima kasih kepada BEM KM UNISRI atas kesensitifannya yang sudah turut serta mengkampanyekan anti kekerasan. Pihak kampus akan terus berupaya dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman dan nyaman bagi mahasiswa, terutama agar tidak terjadi kekerasan seksual. Upaya tersebut ditandai dengan dirintisnya satgas untuk menangani isu dan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Angel beserta dosen senior UNISRI telah merintis satgas kekerasan seksual yang akan menangani isu-isu mengenai kekerasan seksual. Satgas memiliki prespektif berpihak pada korban yakni tidak menghakimi korban dan mendukung segala keputusan yang dibuat oleh korban.
“Dalam kurun waktu 5 tahun, tercatat ada 41 kasus kekerasan seksual, dimana 14 kasus terjadi di lingkungan kampus. Atas kejadian tersebut maka terbitlah Permenbudristek No. 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi,” jelas Yokhe.
Tias memaparkan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki. Namun, menurut data perempuan dan anak menjadi kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual. Tujuan dari undang-undang tindak pidana kekerasan seksual yakni mencegah segala bentuk tindakan kekerasan seksual agar angka kasus tidak meningkat. Pencegahan ini juga bertujuan untuk menciptakan ruang yang aman bagi korban dengan cara menangani, melindungi, dan memulihkan korban. Sayangnya, di dalam undang-undang lain pemenuhan hak-hak korban itu tidak ada.
Kekerasan seksual bukan persoalan pencemaran nama baik, bukan persoalan menjaga nama baik kampus, organisasi, maupun pribadi. Namun, kekerasan seksual merupakan tindak kejahatan kemanusiaan. Tias mewanti-wanti masyarakat untuk jangan sekali-sekali mendukung dan membela pelaku kekerasan seksual. Terdapat kasus dimana korban mengalami pelecahan seksuaal secara elektronik oleh atasannya, namun justru korban dilaporkan balik oleh pelaku dengan Undang-Undang ITE pencemaran nama baik. Maka untuk memberikan perlindungan kepada korban diperlukan pendamping ketika korban menjalani proses pidana. Jika korban sendiri dalam menjalani proses tersebut akan ada upaya penyelesaian masalah secara kekeluargaan atau damai maupun upaya ancaman yang bertujuan untuk membebaskan pelaku.
Penulis : Bekti Rahmawati
Penyunting : Dhinda Ratnasari