Foto: Pixabay |
Saya katakan padanya agar tidak sibuk dengan proyek band death metalnya itu. Bekerja saja yang baik, berhemat, dan melanjutkan studinya yang usai pada semester dua. Juno, kawan yang saya maksut, justru menimpali dengan senyum, “manusia kebanyakan tak perlu banyak bicara. Berisik.” Ia lantas menyulut rokok kreteknya sambil mengulurkannya ke saya. Saya menggeleng. Sampai hari ini, saya belum menghisap asap pembawa penyakit mahal itu.
Sabtu malam, kami menghabiskan di pinggir jalan saja. Kami hanya seperti anak muda kebanyakan, ke luar malam cari angin segar. Karena beginilah anak muda seharusnya. Juno membawa dua bungkus rokok, kretek dan filter untuk jaga-jaga bila dua temannya datang nanti. Di tengah-tengah kami, satu plastik ramuan mabuknya untuk hari ini. Sejenis minuman beralkohol entah persen dipadu sebotol kecil minuman berkarbonasi. Sudah saya ceritakan padanya perihal teman-teman saya dulu yang mati akibat minum alkohol oplosan, tak main-main sintingnya teman saya yang sudah almarhum itu; Arak Bali, Spiritus, sebotol soda, dan satu sachet obat nyamuk oles.
Ia tertawa saja, “Aku gak sebodoh temanmu itu. Aku lebih cerdas urusan beginian.”
Dua orang yang kemudian mengenalkan diri sebagai Arka dan Jehan datang. Mereka ini, komplotan penyuka musik keras yang memiliki obsesi tampil menunjukkan potensi yang dimiliki. Saya katakan pada mereka hal sederhana saja, jangan mengambil ceruk yang sangat kecil dengan memainkan musik death metal. Mereka tertawa saja sambil bergiliran menuang minumannya ke dalam gelas. Masih cerah wajah mereka, bicaranya pun masih sesuai konteks. Belum mabuk orang-orang ini, pikir saya.
“Kami bisa saja bikin boyband, terkenal, tapi kami malu karena gak punya muka.”
“Aku ingin berkarya. Berkarya, biar hidup gak hanya kerja kerja dan kerja.” Juno menimpali.
Saya meneguk air mineral saja. Tak melanjutkan obrolan. “Porcelain Sky”, lagu yang saya unduh gratis dari Rolling Stone Indonesia, yang berhenti beroperasi akhir tahun lalu itu mengisi udara. Tak ada yang protes dengan lagu ini meski ketiga teman ngobrol saya malam itu pendengar metal dan anak-cucunya.
Namun, setidaknya terang benderang sudah persoalan ini, Juno dan kawan-kawannya ini pemusik yang memiliki skill. Tiga album sudah yang hasilkan, setelah empat tahun berdiri. Jika menilik resensi blog-blog cadas untuk albumnya di internet, mereka musisi yang harus dipantau keberadaannya. Arka sang front-man, adalah si serba bisa yang bisa memainkan beberapa instrumen. Yang tidak bisa satu saja: membuat lagu-lagunya laku terjual di lapak-lapak.
“Sekarang, biar aku saja yang memilih lagu.” Juno mengambil MP3 Player merah jambu saya, lucu sekali warna itu.
Mengetik-ngetik di tombolnya, menimbang-nimbang sesuatu untuk diputar malam-malam begini. Pilihannya sesuai seleranya yang bertelingan bebal, Behemoth – “Blow Your Trumpets Gabriel”. Lagu yang jika ada malaikat kurang kerjaan lewat sebentar akan memicu kiamat.
“Gimana kalau Tuhan mendengar musik dajjal Behemoth ini lantas menyuruh malaikat peniup terompet meniup terompetnya.” Seloroh Jehan.
“Artinya kita harus cepat-cepat habiskan minuman ini. Ini nikmat Tuhan.” Timpal Arka.
“Minuman ini, di surga nanti gratis, karena mengalir di sungai-sungai. Rasanya lebih enak karena bukan oplosan macam ini. Alkohol 100%. Tuhan maha pemberi.” Juno meneguk gelas terakhir seraya berkotbah.
Selepasnya seperti itulah mereka, tiga sekawan peminum oplosan berbincang tak tentu arah, dan melantur-lantur saja. Saya yang masih normal kelakuannya, tak sampai hati meninggalkan mereka dalam keadaan yang tak masuk akal ini. Kalau-kalau polisi patroli datang, urusannya panjang kali lebar. Apalagi melihat posisi kami yang masuk dalam masyarakat ekonomi lemah.
*
Hari ini adalah jadwal manggung Bidjakh di awal tahun. Awal tahun yang baik untuk tampil di atas panggung karena kali ini bukan gratisan lagi seperti sebelum-sebelumnya. Sulit dipahami para manusia yang menyebut dirinya metalhead itu. Berlindung di bawah payung idealisme, mereka bergabung dalam komunitas-komunitas musik, membangun jaringan dengan para organizer acara, zine lokal, bersenjata internet untuk menyebarkan karya, namun seakan jatuh pada lubang yang sama: sedikit yang mau membayar untuk menikmati karya-karya musik yang dihasilkan. Jika bukan karena para Juno adalah tipe manusia aneh yang selalu memberi penampilan terbaiknya dan hanya orgasme di panggung, keyakinan saya bahwa bandnya akan bertahan hingga kini akan gugur.
Para hadirin yang datang, umumnya muda-mudi yang menghamba kebebasan. Mereka ini adalah muda-mudi yang sedang mencari jati diri. Kaus oblong kedodoran, Vans bajakan, topi yang dipasang miring, miras – tentunya oplosan – hasil patungan dengan kawan-kawan, membeli tiket murah saja berhubung harga pelajar, minum-minum lantas berdansa tak tahu arah di moshpit. Tinjuan dan pukulan dari kawan mereka terima begitu saja, sanggahan mereka selalu sama, sebab ini bukan arena dangdut yang sedikit senggol saja menimbulkan ricuh.
Pemuda bernama Seno jatuh kala itu di tengah arena. Beberapa tendangan mendarat di tubuhnya. Seorang temannya melindungi, membantunya untuk bangun kembali dan mendekat ke bibir panggung. Cukup aneh memang, karena para metalhead yang menyaksikan tak peduli sama sekali dengan lirik atau penampilan band. Belum tentu mereka hapal dengan lirik yang dinyanyikan vokalis. Iseng saja menanyai seorang pemudi berkaus Seringai tentang arti lagu, “Mengadili Persepsi: Bermain Tuhan”. Diiringi tawa si pemudi menjawab singkat saja, “Lagu itu artinya jangan main-main sama Tuhan, nanti kena karma.”
Bidjakh sedang istirahat sejenak pasca memainkan lagu cover dari band lain, hebat sekali judul terangnya, “Manufaktur Replika Baptis”. Vokalis Bidjakh, Arka, menghampiri Seno yang memanggil-manggilnya untuk mendekat. Handphonenya jatuh dan hilang.
“Tolong, teman-teman, bagi yang menemukan handphone Iphone X silakan menghubungi panitia atau langsung menghubungi Seno, teman kita satu ini. Tolong bantuannya.”
Arka yang baik hati membantu Seno lugu yang meringis karena itu handphone kakaknya. Akhir acara, handphone sama sekali tidak ditemukan. Arka menerjemahkan ulang esensi komunitas tempatnya berbagi kesenangan kini. Personel Bidjakh dan kru duduk terpekur berpikir keras tak bisa pulang ke rumah: uang bayaran panitia hanya setengah.
*
(Penulis : Arie Susanto,HI ' 15)