Menilik Kampanye Krisis Iklim di Media Sosial - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Menilik Kampanye Krisis Iklim di Media Sosial

 

Ilustrasi: Pascal Bernardon/Unsplash

Pusat Kajian Media dan Komunikasi, Remotivi, mengadakan diskusi publik bertajuk “Menghijaukan Dunia Maya: Inisiatif Publik dalam Mengarusutmanakan Perspektif Lingkungan Hidup Melalui Media Sosial”. Pada diskusi tersebut membahas tentang laporan hasil riset Indeks Kematangan Digital yang dilakukan oleh Remotivi. Selain itu, membahas mengenai peran media media sosial dalam menyadarkan masyarakat tentang krisis iklim yang dinilai semakin buruk.

Peneliti Remotivi, Surya Putra mengatakan bahwa situasi lingkungan hidup maupun krisis iklim sudah semakin parah. Dampak yang dirasakan mulai dari banjir, cuaca ekstrem, kekeringan, dan kenaikan permuakaan air laut. Apabila hal tersebut tidak melakukan insiatif yang berarti untuk menyelesaikan permasalahan krisis iklim maka dampak yang masyarakat rasakan kedepannya akan semakin parah.

Surya menilai sebuah hal mendesak untuk menyadarkan masyarakat terkait isu lingkungan hidup dan krisis iklim. Dia turut menyebutkan bahwa para ilmuan memprediksi apabila krisis iklim dibiarkan begitu saja maka dampak yang kita rasakan akan semakin parah.

“Kerena, misanya, masih banyak orang yang kurang melek bagaimana mau melakukan solusi ketika tidak banyak yang paham,” kata Surya, pada Sabtu (5/2/2022).

Pemberitaan mengenai isu lingkungan hidup maupun krisis iklim dinilai masih kurang baik secara kualitas dan kuantitas. Surya menyebut secara kualitas, yaitu kemasan yang menggunakan bahasa mudah dipahami, serta narasi yang disajikan. Sedangkan secara kuantitas, yaitu berbicara mengenai isu lingkungan hidup masih kalah pamor dengan isu-isu lainnya.

Sebagai sasaran penelitian Remotivi, Non Govermental Organization (NGO) merupakan subjek penelitian dengan berdasarkan NGO memiliki peran menumbuhkan kesadaran publik mengenai isu lingkungan. Surya menyebutkan NGO di Indonesia yang fokus pada isu lingkungan hidup berjumlah paling banyak apabila dibandingkan dengan NGO yang bergerak di luar sektor lingkungan hidup.

Terdapat 5 provinsi di Indonesia sebagai subjek penelelitian dalam hasil riset Remotivi: yaitu Jawa Barat, D.I Yogyakarta, DKI Jakarta, Lampung, dan Banten. Provinsi tersebut merupakan lima provinsi dengan skor terendah dalam indeks kualitas lingkungan hidup (2019). Dalam 5provinsi tersebut Remotivi meneliti 12 NGO yang memiliki pengaruh pada perubahan terhadap krisis iklim.

Ada 3 poin temuan yang dipaparkan Surya, pertama, kapasitas produksi digital NGO mendapatkan nilai yang cukup baik, namun dimensi performa media sosial nilainya rendah. Kedua, NGO lingkungan hidup memiliki kapasitas produksi digital yang memadai, namun minim anggaran sumber daya manusia. ketiga, tingginya jumlah pengikut media sosial justru tidak dibarengi dengan tingginya enggagement.

Di tenggah ketidakpercayaaan media massa yang disinyalir mempunyai kepentingan pemilik perusahaan yang erat dengan perusahaan perusahaan lingkungan. Media sosial menjadi alternatif untuk menumbuhkan kesadaran publik akan isu lingkungan, media sosial dianggap cenderung lebih murah mengaksesnya. Sejalan dengan itu, Ardyan M. Erlangga mengamini bahwa ekosistem jurnalisme digital di Indonesia masih sulit mengharapkan kolaborasi antara media dengan NGO lingkungan hidup.

“Itu hal menyedihkan, perlu saya sampaikan, karena sangat terfragmentasi, karena kesadaraannya rendah,” ucap Ardyan dalam diskusi yang diselenggarakan melalui Zoom meeting.

Sebagai Manager Editor Vice, Ardyan menyebutkan kalangan anak muda sering berbagi cerita-cerita lingkungan yang segera ingin diketahui dan juga sosok inspiratif yang menghijaukan lingkungan. Dia menilai kalangan anak muda mengetahui isu perubahan iklim. Dengan rentang usia 16 sampai 31 tahun merupakan sebagaian besar pengikut Vice, Ardyan menyebutkan 82 persen anak muda peduli terhadap isu lingkungan hidup,

Cara menyampaikan isu lingkungan hidup dengan cara yang mudah dimengerti kalangan mudah merupakan cara yang musti dilakukan seperti mengunakan cara shit posting atau meme menjadi cara ampuh untuk menjangkau kalangan anak muda. Rara Sekar melihat konten digital adalah sebuah pengalaman, namun konten-konten digital untuk mengajak, mengelitik orang-orang untuk mengalami hal tersebut. Terdapat cara yang menjembatani antara konten dan aksi yang perlu dibangun. Tak hanya engagement tinggi, cara menyukseskan kampanye yang disampaikan menjadi hal yang tak terelakan.

Tantangan menyampaikan isu lingkungan hidup juga disampaikan oleh Adithiyasanti Sofia, pegiat Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GDKP) perlu belajar cara membuat audiens mengerti tentang apa yang GDKP ini lakukan. Pada mulanya GDKP hanya menggunakan media sosial sebagai publikasi, sampai akhirnya media sosial menjadi tempat advokasi. Pandemi pun turut menjadikan semua kegiatan menjadi serba digital. Dithi menyebut kekurangan sumber daya manusia menjadi tantangan bagi internal GDKP karena dinilai kurangnya orang yang mengerti enggagement media sosial.

“Jadi perlu ada dedicated person karena begitu ada yang naikin traffic, ada yang membaca tren, ada yang membaca perbincangan seperti apa,” kata Dhiti.

 

Penulis: B. Valencya (Kontribusi)

Penyunting: Rynaldi Fajar

 

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done